Aku
bekerja di perusahaan kontraktor swasta di daerah Indramayu yang
mempunyai sekitar 20 pegawai dan 3 orang diantaranya adalah wanita. Pada
umumnya pegawai-pegawai itu datang dari desa sekitar perusahaan ini
berada dan rata-rata pegawai prianya sudah bekerja di perusahaan ini
sekitar 15 tahunan lebih, sedangkan aku diperbantukan dari kantor pusat
di Jakarta dan baru sekitar 1 tahun di
kantor cabang ini sebagai kepala personalia merangkap kepala keuangan.
Karena pindahan dari kantor pusat, maka aku dapat tinggal di rumah yang
disewa oleh perusahaan. Istriku tidak ikut tinggal di sini, karena dia
juga kerja di Jakarta, jadi kalau tidak aku yang ke Jakarta setiap
Jum'at sore dan kembali hari Minggu sore atau istriku yang datang.
Hubungan antar para pekerja begitu akrab, sehingga beberapa diantara
mereka ada yang sudah menganggap aku sebagai saudara atau anaknya saja.
Dalam situasi seperti sekarang ini, perusahaan dimana aku bekerja juga
mengalami krisis yang cukup serius dan jasa pekerjaan yang kami terima
dari perusahaan kilang minyak dan perusahaan lainnya juga semakin
berkurang. Hal ini mengakibatkan pimpinanku memerintahkan untuk
mengurangi beberapa orang pegawainya dan ini harus kulaksanakan dalam
waktu sebulan ini. Setelah kupilah-pilah dari 20 orang pegawai itu, lalu
aku mengambil 5 orang pegawai yang paling tua dan yang dalam 1 atau 2
tahun ini akan mencapai usia 55 tahun, lalu aku menyuruh sekretaris
kantor yang bernama Sri (samaran) dan juga dari penduduk di sekitar
perusahaan untuk mengetik draft surat-surat yang sudah kupersiapkan dan
rencanaku dalam 2 minggu ini masing-masing pegawai akan kupanggil satu
persatu untuk keberikan penjelasan sekaligus memberikan golden shake
hand pesangon yang cukup besar. Sri adalah salah satu diantara 3 pekerja
wanita di sini dan umur mereka bertiga sekitar 30 tahunan. Sri, menurut
teman-teman kerjanya adalah seorang pegawai yang agak sombong, entah
apa yang disombongkan atau mungkin karena merasa yang paling cantik
diantara ke 2 wanita lainnya. Padahal kalau aku bandingkan dengan
pekerja wanita di kantor pusat Jakarta, belum ada apa-apanya. Suaminya
Sri menurut mereka itu sudah setahun ini bekerja di Arab sebagai TKI. Di
hari Jum'at sore, sewaktu aku besiap siap akan pulang, tiba-tiba muncul
salah seorang pegawai yang biasa kupanggil Pak Tus datang menghadap ke
ruangan kantorku. "Ada apa Pak Tus", tanyaku. "Ini..., Pak..., kalau
Bapak ada waktu, besok saya ingin mengajak Bapak untuk melihat kebun
buah-buahan di daerah pegunungan sekitar Kuningan dan peninggalan orang
tua saya, siapa tahu Bapak tertarik untuk membelinya". Setelah kipikir
sejenak dan sekaligus untuk menyenangkan hatinya karena Pak Tus ini
adalah salah satu dari pegawai yang akan terkena PHK, segera saja
permintaannya kusetujui. "Oke..., Pak Tus, boleh deh, kebetulan saya
tidak punya acara di hari Sabtu dan Minggu ini..., kita pulang hari atau
nginap Pak...? "Kalau Bapak nggak keberatan..., kita nginap semalam di
gubuk kami..., Pak.., dan kalau Bapak tidak berkeberatan, saya akan
membawa Istri, anak dan cucu saya, Biar agak ramai sekaligus untuk
masak.., karena tempatnya agak jauh dari warung", jawab Pak Tus dengan
wajah berseri. "Yapi..., Pak..., saya tidak punya kendaraan.., lanjut
Pak Tus dengan wajah agak sedih". "Pak..., Tus..., soal kendaraan jangan
terlalu di pikir, kita pakai Kijang saya saja.., dan Pak Tus boleh
membawa semua keluarganya, asal mau berdesak-desakan di Kijang dan besok
jam 10 pagi akan saya jemput ke rumah Pak Tus", sahutku dan Pak Tus
dengan wajah berseri kembali lalu mengucapkan terima kasih dan pamit
untuk pulang. Besok paginya sekitar jam 10 pagi aku menjemput ke rumah
Pak Tus yang boleh dibilang rumah sangat sederhana. Di depan rumahnya
aku disambut oleh Pak Tus dan Istrinya. Aku agak terkejut, karena
Isrinya kelihatan jauh lebih muda dari yang kuduga. Dia kutaksir berumur
sekitar 35 tahunan dan walau tinggal di kampung tapi sepertinya tidak
ketinggalan jaman. Istri Pak Tus mengenakan rok dan baju agak ketat
tanpa lengan serta ukuran dadanya sekitar 36C. "silakan masuk...,
Pak...", katanya hampir serentak, "Ma'af Pak..., rumahnya jelek",
sambung Pak Tus. "Ah, Bapak dan Ibu.., bisa saja, Oh iya..., anak dan
cucu nya apa jadi ikut?", sahutku sambil bertanya karena aku tidak
melihat mereka. "Oh..., si Aminah (mana disamarkan) sedang di belakang
menyiapkan barang-barang bawaannya dan cucu saya tidak mau pisah dari
ibunya", sahut Pak Tus. Tidak lama kemudian dari belakang muncul wanita
muda yang tidak bisa dibilang jelek dengan tinggi sekitar 160 Cm serta
memakai T shirt ketat sedang menggendong anak laki-laki dan tangan
satunya menjinjing tas agak besar, mungkin berisi pakaian. "Pak..", kata
Pak Tus, yang membuatku agak kaget karena aku sempat terpesona dengan
body Aminah yang yang aduhai serta berjalan dengan dada yang menantang
walau ukuran dadanya boleh dibilang tidak besar. "Paak..., ini kenalkan
anak perempuan saya..., Aminah dan ini cucu saya Dodi". Kusambut uluran
tangan Aminah serta kujabat tangannya yang terasa agak dingin dan
setelah itu kucubit pipi Dodi. "Ayo..., Pak...", ajak Pak Tus, "Kita
semua sudah siap dan bisa berangkat sekarang". "Lho..., apa bapaknya
Dodi tidak ikut..., Pak?, tanyaku dan kulihat Pak Tus saling
berpandangan dengan Istrinya, tapi yang menyahut malah Aminah. "Enggak
kok..., Pak..., dia lagi pergi jauh". "Ayo..., lah kalau begitu..., kita
bisa berangkat sekarang.., Pak", kataku walau aku masih ada tanda tanya
besar dalam hatiku soal suami Aminah. Sesampainya tempat yang dituju,
aku jadi terkagum-kagum dengan kebun yang dimiliki Pak Tus yang cukup
luas dan tertata rapi serta seluruhnya ditanami pohon buah-buahan,
bahkan banyak yang sedang berbuah. Rumah yang boleh dibilang tidak
besar, terletak di bagian belakang kebun itu. "Ayo..., Pak, kita
beristirahat dulu di gubuk, nanti setelah itu kita bisa keliling kebun
melihat pohon- pohon yang ada", kata bu Tus dan disambut dengan sahutan
Pak Tus. "Iyaa..., Pak..., silakan istirahat ke rumah dulu, biar Istri
saya menyiapkan minum buat Bapak, sedang saya mau ketemu dengan yang
menjaga kebun ini. Lalu aku dan Bu Tus berjalan beriringan menuju
rumahnya dan sepanjang perjalanan menuju rumah kupuji kalau kebunnya
cukup luas serta terawat sangat baik. "Aahh..., Bapak..., jangan terlalu
memuji..., kebun begini.., kok dibilang bagus.., tapi inilah kekayaan
kami satu-satunya dan peninggalan mertua", kata bu Tus yang selalu murah
senyum itu. Ketika mendekati rumah, Bu Tus lalu berkata, "silakan
Pak..., masuk", dan aku segera katakan, "silakan..., sambil bergeser
sedikit untuk memberi jalan pada bu Tus. Entah mengapa, kami berdua
berjalan bersama masuk pintu rumah sehingga secara tidak sengaja tangan
kiriku telah menyenggol bagian dada bu Tus yang menonjol dan kurasakan
empuk sekali. Sambil kupandangi wajah bu Tus yang kelihatan memerah,
segera kukatakan. "Maaf..., bu..., saya tidak sengaja", Bu Tus tidak
segera menjawab permintaan maafku, aku jadi merasa agak nggak enak dan
takut dia marah, sehingga kuulangi lagi. "Benar..., buu..., saya tidak
sengaja...". "Aahh..", Pak Pur.., saya nggak apa apa kok..., hanya...,
agak kaget saja, lupakan.., Pak..., cuma gitu saja..., kok", kata bu Tus
sambil tersenyum. "Oh iya..., Bapak mau minum apa", tanya bu Tus.
"Terserah Ibu saja deh". "Lhoo..., kok terserah saya..?"."Air putih juga
boleh kok bu". Setelah bu Tus ke belakang, aku lalu duduk di ruang tamu
sambil memperhatikan ruangan nya model rumah kuno tetapi terawat dengan
baik. Tidak terlalu lama, kulihat bu Tus yang telah mengganti bajunya
dengan baju terusan seperti baju untuk tidur yang longgar berjalan dari
belakang sambil membawa baki berisi segelas teh dan sesampainya di meja
tamu dimana aku duduk, bu Tus meletakkan gelas minuman untukku sambil
sedikit membungkuk, sehingga dengan jelas terlihat dua gundukan besar
yang menggantung didadanya yang tertutup BH dan bagian dalam badannya,
membuat mataku sedikit melotot memperhatikannya. "Iihh..., matanya Pak
Puur..., kok..., nakal.., yaa", katanya sambil menyapukan tangannya
dimukaku serta tersenyum. Aku jadi agak malu dikatakan begitu dan untuk
menutupi rasa maluku, aku jawab saja sambil agak bergurau. "Habiis...,
bu Tus berdirinya begitu..., sih. "Aahh..., bapak ini..., kok
sepertinya..., belum pernah melihat seperti itu saja", sahut bu Tus yang
masih berdiri di dekatku dan mencubit tanganku. "Betul kok..., buu...,
saya belum pernah melihat yang seperti itu, jadi boleh kan buu..., saya
lihat lagi..?". "aahh..., bapak..", kembali mencubitku tetapi sekarang
di pipiku sambil terus berjalan ke belakang. Setelah minuman kuhabiskan,
aku lalu balik keluar menuju ke kebun dan ngobrol dengan pak Tus yang
sedang membersihkan daun-daun yang berserakan. Selang berapa lama,
kulihat bu Tus datang dari dalam rumah sambil membawa gulungan tikar dan
setelah dekat lalu menggelar tikarnya di kebun sambil berkata kepada
suaminya. "Paak..., kita ajak Pak Pur makan siang disini saja..., yaa",
dan pak Tus tidak menjawab pertanyaan istrinya tetapi bertanya kepadaku.
"Nggak..., apa-apa..., kan.., paak.., makan di kebun..? Biar tambah
nikmat". "Nggak apa apa kok.., paak", jawabku. Tidak lama kemudian dari
arah rumah tetangganya, kulihat Aminah yang sudah mengganti bajunya
dengan baju terusan yang longgar seperti ibunya datang membawa makanan
dan sambil membungkuk meletakkan makanan itu di tikar dan aku yang
sedang duduk di tikar itu kembali melihat buah yang menggantung di dada,
dan sekarang dadanya Aminah. Kelihatan sekali kalau Aminah tidak
mengenakan BH dan ukurannya tidak besar. Aminah tidak sadar kalau aku
sedang memperhatikan buah dadanya dari celah bajunya pada saat menaruh
dan menyusun makanan di tikar. Setelah Aminah pergi, sekarang datang
Ibunya sambil membawa makanan lainnya dan ketika dia membungkuk menaruh
makanan, kembali aku disungguhi pemandangan yang sama dan sekarang agak
lama karena makanan yang disusun oleh Aminah, disusun kembali oleh bu
Tus. Tidak kuduga, tiba- tiba bu Tus sambil tetap menyusun makanan lalu
berkata agak berbisik, mungkin takut didengar oleh suaminya yang tetap
masih bekerja membersihkan daun-daun tidak jauh dari tempatku duduk.
"Paak..., sudah puas melihatnyaa..?" . Lalu kudekatkan wajahku sambil
membantu menyusun makanan dan kukatakan pelan, "Beluum..., buu..., saya
kepingin memegangnya dan menghisapnyaa". Bu Tus langsung mencubitkan
tangannya di pahaku sambil berkata pelan, "Awas..., yaa..., nanti saya
gigit punya bapak.., baru tahu", sambil terus berjalan. Sekarang muncul
lagi Aminah dan kembali meletakkan makanan sambil membungkuk dan kembali
terlihat buah dadanya dan kepingin rasanya kupegang. Rupanya Aminah
tahu kalau aku sedang memperhatikan dadanya, lalu dia berbisik.
"Paakk..., matanya kok nakal..., yaa...", tapi tanpa menutupnya dan
langsung saja kujawab, "aam..., habis bagus siih..., pingin
pegang...,boleh apa nggak?", Aminah hanya tersenyum sambil mencubit
tanganku lalu pergi. Setelah itu kami berempat makan di tikar dan nikmat
sekali rasanya makan di kebun dan setelah selesai makan, Aminah pamit
untuk memberi makan anaknya di rumah bibinya. Ketika kutanyakan ke Pak
Tus, kemana suaminya Aminah segera Pak Tus menceritakan keluarganya.,
bahwa Istri Pak Tus ini adalah adik kandung dari Istri pertamanya yang
sudah meninggal dan Aminah adalah anak satu- satunya dari istri
pertamanya. Sedang Aminah sudah bercerai dari suaminya pada saat Aminah
hamil, suaminya meninggalkan begitu saja karena kawin dengan wanita
lain. Tidak terasa kami ngobrol di kebun cukup lama dan mungkin karena
hawanya agak dingin dan anginnya agak keras, aku merasa seperti sedang
masuk angin. Sementara Pak Tus dan istrinya membereskan sisa makan
siang, aku memukul-mukul perutku untuk membuktikan apa benar aku sedang
masuk angin dan ternyata benar. Perbuatanku memukul perut rupanya
diketahui oleh Pak Tus dan istrinya. "Kenapa paak..", tanya mereka
hampir serentak. "Nggak apa apa kok..., cuman masuk angin sedikit".
"Paak..., masuk angin kok..., dibilang nggak apa apa..", jawab Pak Tus
"Apa bapak biasa dikerokin", lanjutnya. "Suka juga sih paak", jawabku.
"Buu..., biar saya yang beresin ini semua..., itu tolong kerokin dan
pijetin Pak Puur, biar masuk anginnya hilang", kata Pak Tus. "Oh...,
iya.., Buu", lanjut Pak Tus, "Habis ini saya mau mancing ikan di kali
belakang, siapa tahu dapat ikan untuk makan malam nanti...". "Pak
Tuus..., nanti kalau masuk angin saya hilang, saya mau ikut mancing
juga", kataku. "Ayoo..., pak Puurr.., kita ke rumah..., biar saya
kerokin di sana..., kalau di sini nanti malah bisa sakit beneran.
Sesampainya di dalam rumah lalu bu Tus berkata, "Paak..., silakan bapak
ke kamar sini saja", sambil menunjuk salah satu kamar, dan "Saya ke
belakang sebentar untuk mengambil uang untuk kerokannya". Tidak lama
kemudian bu Tus muncul ke dalam kamar dan menutup pintunya dan
menguncinya. "Paak..., kerokannya di tempat tidur saja yaa..., dan
tolong buka kaosnya". Setelah beberapa tempat di punggungku dikerokin,
bu Tus berkomentar. "Paakk..., rupanya bapak masuk angin beneran...,
sampai merah semua badan bapak". Setelah hampir seluruh punggungku
dikerokin dan dipijitin, lalu bu Tus memintaku untuk tidur telentang.
"Paak..., sekarang tiduran telentang..., deh..., biar bisa saya pijitin
agar angin yang di dada dan perut bisa keluar juga. Kuturuti
permintaannya dan bu Tus naik ke tempat tidur di samping kiriku dan
mulai memijit kedua bahuku. Dengan posisi memijit seperti ini, tentu
saja kedua payudara bu Tus terlihat sangat jelas dan bahkan seringkali
menyentuh wajahku sehingga mau tak mau membuat penisku menjadi tegang.
Karena sudah tidak kuat menahan diri, kuberanikan untuk memegang kedua
payudaranya dan bu Tus hanya berkata pelan. "Jangaan..., paak..., sambil
tetap memijit bahuku. "Kenapa buu...", tanyaku sambil melepas pegangan
di payudaranya. "Nggak..., apa apa kok..., paak", jawabnya pelan sambil
tersenyum. Karena tidak ada kata-kata lainnya, maka kuberanikan lagi
untuk menyelusupkan tangan kiriku ke dalam bajunya bagian bawah serta
kupegang vaginanya dan kembali terdengar suara bu Tus. "Paakk...,
sshh..., jangaan..., aahh...", dan badannya dijatuhkan ke badanku serta
bibirnya bertemu dengan bibirkuDengan tidak sabar, lalu kuangkat rok
terusannya ke atas dan kulepaskan dari kepalanya sehingga badannya
telanjang hanya tertutup oleh BH dan CD saja, lalu segera badannya
kubalik sehingga aku sekarang ada di atas badannya dan segera kaitan
BH-nya kulepas sehingga tersembul buah dadanya yang besar. Kujilati dan
kuhisap kedua payudaranya bergantian dan bu Tus hanya berdesah pelan.
"sshh..., aahh..., paak..., sshh..., dan tangan kiriku kugunakan untuk
melepas CD-nya dan kumasukkan jariku diantara belahan vaginanya yang
sudah basah dan ini mungkin membuat bu Tus semakin keenakan dan terus
mendesah. "sshh..., aduuhh..., paakk..., sshh..., aahh". Sambil tetap
Kujilati payudaranya, sekarang kugunakan tanganku untuk melepas celana
panjang dan CD-ku dan setelah berhasil, kembali kugunakan jari tanganku
untuk mempermainkan vaginanya dan kembali kudengar desahannya. "sshh...,
aahh..., paak..., sshh..., ayoo.., paak", dan kurasakan bu Tus telah
membukakan kedua kakinya agak lebar. Walau tidak bilang kurasa bu Tus
sudah tidak tahan lagi, maka segera saja kuarahkan penisku ke arah
vaginanya dan kedua tangannya telah melingkar erat di punggungku. Belum
sempat aku siap-siap, "Bleess...", penisku masuk ke dalam vaginanya
akibat bu Tus menekan kuat-kuat punggungku dan bu Tus berteriak agak
keras, "aahh..", sehingga terpaksa mulutnya segera kusumpal dengan
bibirku agar teriakannya tidak terdengar sampai keluar kamar. Sambil
kujilati payudaranya, aku menggerakkan pantatku naik turun sehingga
penisku keluar masuk vaginanya dan menimbulkan bunyi. "ccrreett...,
ccrreett..., ccrreett", dan dari mulut bu Tus terdengar desahan yang
agak keras, "Aahh..., sshh..., paak..., aahh..", dan tidak lama kemudian
bu Tus semakin cepat menggerakkan pinggulnya dan tiba-tiba kedua
kakinya dilingkarkan kuat-kuat di punggungku sehingga mempersulit
gerakan keluar masuk penisku dan terdengar suaranya yang agak keras,
"aaduuhh.., sshh..., aahh..., aaduuhh..., paakk..., aarrhh.., sambil
menekan kuat-kuat badanku lalu bu Tus terdiam, dengan nafas yang cepat.
Untuk sementara, kudiamkan dulu sambil menunggu nafas bu Tus agak normal
kembali dan tidak lama kemudian, sambil menciumi wajahku, bu Tus
berkata. "Paakk..., sudah lamaa..., saya..., tidak pernah seperti
ini..., terima kasih..., paak". Setelah nafasnya kembali normal dan
penisku masih tetap di dalam vaginanya, lalu kuminta bu Tus untuk
menungging. "Paak..., saya belum pernah seperti itu", katanya pelan.
"Nggak apa- apa kok buu..., nanti juga bisa", kataku sambil mencabut
penisku dari vaginanya yang sangat basah. Kubalik badannya dan kuatur
kakinya sehingga posisinya nungging, bu Tus hanya mengikuti kemauanku
dan menaruh kepalanya di bantal. Lalu kudekatkan wajahku di dekat
vaginanya dan kujulurkan lidahku ke dalam lubang vaginanya dan
kupermainkan, sambil kupegang kedua bibir vaginanya, bu Tus hanya
menggerakkan pantatnya pelan-pelan. Tetapi setelah bu Tus memalingkan
kepalanya dan menengok ke arah bawah serta tahu apa yang kuperbuat,
tiba-tiba bu Tus menjatuhkan badannya serta berkata agak keras,
"Paakk..., jangaan", sambil berusaha menarik badanku ke atas. Terpaksa
kudekati dia dan sambil kucium bibirnya yang mula-mula ditolaknya, lalu
kutanya, "Kenapa..., buu..? "Paakk..., jangaan..., itu kan kotoor..",
Sambil agak berbisik, segera kutanyakan. "Buu..., apa ibu belum
pernah..., dijilati seperti tadi..?". "Beluum.., pernah paak..",
katanya. "Buu..., nggak apa- apa.., kok..., coba deh..., pasti nanti ibu
akan nikmat..", sambil kutelentangkan dan kutelisuri badannya dengan
jilatan lidahku. Sesampainya di vaginanya, kulihat tangan bu Tus
digunakan untuk menutupi vaginanya, tapi dengan pelan- pelan berhasil
kupindahkan tangannya dan segera kuhisap clitorisnyanya yang membuat bu
Tus menggelinjang dan mendesah. "Paakk..., jangaann..., aahh...,
aduuhh", tapi kedua tangannya malah diremaskan di kepalaku dan
menekannya ke vaginanya. Kelihatannya bu Tus sudah tahu nikmat vaginanya
dihisap dan dijilati, sehingga sekarang semakin sering kepalaku ditekan
ke vaginanya disertai desahan-desahan halus, "aahh..., sshh...,
aahh..., aaccrrhh", seraya menggerak-gerakkan pinggulnya. Jilatan serta
hisapanku ke seluruh vagina bu Tus membuat gerakan pinggulnya semakin
cepat dan remasan tangannya di rambutku semakin kuat dan tidak lama
kemudian, lagi-lagi kedua kakinya dilingkarkan ke bahuku dan menjepitnya
kuat-kuat disertai dengan desahan yang cukup keras "aahh..., aaduuh...,
sshh..., aaccrrhh..., paakk..., adduuhh..., aacrrhh. Kulihat bu Tus
terdiam lagi dengan nafasnya yang terengah-engah sambil mencoba menarik
badanku ke atas dan kuikuti tarikannya itu, sesampainya kepalaku di
dekat kepalanya, bu Tus sambil masih terengah-engah mengatakan,
"Paakk..., enaak..., sekalii..., paak..,. terima kasiih..".
Pernyataannya itu tidak kutangapi tetapi aku berusaha memasukkan penisku
ke dalam vaginanya, dan karena kakinya masih terbuka, maka penisku yang
masih sangat tegang itu dapat masuk dengan mudah. Karena nafas bu Tus
masih belum normal kembali, aku hanya menciumi wajahnya dan diam
menunggu tanpa menggerakkan pinggulku, tetapi dalam keadaan diam seperti
ini, terasa sekali penisku terhisap keras oleh vaginanya dan terasa
sangat nikmat dan kubilang, "Buu..., ituu..., Buu..., enaakk...,
laggii..., buu", dan mungkin ingin membuatku keenakan, kurasakan
sedotannya semakin keras saja dan, "Buu..., teruuss..., buu...,
enaakk.., aaduuh". Setelah nafasnya kembali normal, lalu kuangkat kedua
kaki bu Tus dan kutempatkan di atas bahuku dan bu Tus hanya diam saja
mengikuti kemauanku. Dengan posisi begini, terasa penisku semakin dalam
menusuk ke vaginanya dan ketika penisku kuhentakkan keluar masuk
vaginanya, bu Tus kembali berdesah, "Aahh..., Paakk..., enaakk...,
Paakk..., aahh..., sshh", dan akupun yang sudah hampir mendekati klimaks
ikut berdesah, "aahh..., sshh..., aaccrrhh..., Buu.., aahh", sambil
mempercepat gerakan penisku keluar masuk vaginanya dan ketika aku sudah
tidak dapat menahan air maniku segera saja kukatakan, "Buu..., Buu...,
saayaa..., sudah mau keluar..., aahh..., taahaan..., yaa..., Buu..", dan
bu Tus sambil memelukku kuat-kuat, menganggapinya dengan mengatakan,
"Paakk..., ayoo..., cepaatt..., Paakk...", dan kutekan penisku kuat-kuat
menusuk vaginanya sambil berteriak agak keras, "aahh..., aacrrhh...,
bbuu..., aahh..", Aku sudah tidak memperhatikan lagi apa yang
diteriakkan bu Tus dan yang aku dengar dengan nafasnya yang
terengah-engah bu Tus menciumi wajahku sambil berkata, "Teriimaa...,
kasiih..., paakk..., saayyaa..., capeek..., sekali.., paakk". Setelah
istirahat sebentar dan nafas kami kembali agak normal, bu Tus mengambil
CD-nya dan dibersihkannya penisku hati-hati. Aku segera mengenakan
pakaianku dan keluar menuju sungai untuk menemani pak Tus memancing.
"Sudah dapat berapa Paak ikannya..", tanyaku setelah dekat. "ooh...,
bapaak..., sudah tidak masuk angin lagi..., paak..?", dan lanjutnya,
"Lumayan paak.., sudah dapat beberapa ekor dan bisa kita bakar nanti
malam. Malam harinya setelah makan dengan ikan bakar hasil pancingannya
pak Tus, kami berempat hanya ngobrol di dalam rumah dan suasananya
betul-betul sepi karena tidak ada TV ataupun radio, yang terdengar
hanyalah suara binatang- binatang kecil dan walaupun sudah di dalam
rumah tetapi hawanya terasa dingin sekali, maklum saja karena kebun pak
Tus berada di kaki bukit. Sambil ngobrol kutanyakan pada Aminah,
"Aam..., ke mana anaknya..? Kok dari tadi tidak kelihatan" "oohh...,
sudah tidur paak", katanya. Karena suasana yang sepi ini, membuat orang
jadi cepat ngantuk dan benar saja tidak lama kemudian Aminah pamit mau
tidur duluan. Sebetulnya aku juga sudah mengantuk demikian juga kulihat
mata bu Tus sudah layu, tetapi karena pak Tus masih bersemangat untuk
ngobrol maka obrolan kami lanjutkan bertiga. Tidak lama kemudian, bu Tus
juga pamit untuk tidur duluan dan mungkin pak Tus melihatku menguap
beberapa kali, lalu pak Tus berkata padaku, "Paak..., lebih baik kita
juga nyusul tidur". "Betul..., paak, karena hawanya dingin membuat orang
cepat mengantuk", jawabku. "ooh..., iyaa..., paak.., silakan bapak
tidur di kamar yang sebelah depan", kata pak Tus sambil menunjuk arah
kamar dan lanjutnya lagi, "Maaf..., yaa.., paakk.., rumahnya kecil dan
kotor lagi". "aahh..., pak Tus..., ini selalu begitu",jawabku. Aku
segera bangkit dari dudukku dan berjalan menuju kamar depan yang
ditunjuk oleh pak Tus. Tetapi setelah masuk ke kamar yang ditunjuk oleh
pak Tus, aku jadi sangat terkejut karena di kamar itu telah ada
penghuninya yang telah tidur terlebih dahulu yaitu Aminah dan anaknya.
Karena takut salah kamar, aku segera keluar kembali untuk menanyakan
kepada pak Tus yang kebetulan baru datang dari arah belakang rumah, lalu
segera kutanyakan, "Maaf..., paak..., apa saya tidak masuk kamar yang
salah?", kataku sambil menunjuk kamar dan pak Tus langsung saja
menjawab, "Betuul..., paak..., dan maaf kalau Aminah dan anaknya tidur
di situ..., habis kamarnya hanya dua..., mudah-mudahan mereka tidak
mengganggu tidur bapak", kata pak Tus. "ooh..., ya sudah kalau begitu
paak..., saya hanya takut salah masuk kamar..., oke kalau begitu
paak..., selamat malaam". Aku segera kembali masuk ke kamar dan
menguncinya. Dapat kuceritakan kepada para penggemar situs 17Tahun,
kamar ini mempunyai hanya satu tempat tidur yang lebar dan Aminah serta
anaknya tidur disalah satu sisi, tetapi anaknya ditaruh di sebelah
pinggir tempat tidur dan dijaga dengan sebuah bantal agar supaya tidak
jatuh. Setelah aku ganti pakaianku dengan sarung dan kaos oblong,
pelan-pelan aku menaiki tempat tidur agar keduanya tidak terganggu dan
aku mencoba memejamkan mataku agar cepat tidur dan tidak mempunyai
pikiran macam-macam, apalagi badanku terasa lelah sekali. Baru saja aku
akan terlelap, aku terjaga dan kaget karena dadaku tertimpa tangan
Aminah yang merubah posisi tidurnya menjadi telentang. Aku jadi
penasaran, ini sengaja apa kebetulan tetapi setelah kulirik ternyata
nafas Aminah sangat teratur sehingga aku yakin kalau Aminah memang telah
tidur lelap, tetapi kantukku menjadi hilang melihat cara Aminah tidur.
Mungkin sewaktu tidur tadi dia lupa mengancingkan rok atasnya sehingga
agak tersingkap dan belahan dada yang putih terlihat jelas dan rok
bawahnya tersingkap sebagian, hingga pahanya yang mulus itu terlihat
jelas. Hal ini membuat kantukku hilang sama sekali dan membuat penisku
menjadi tegang. Kepingin rasanya memegang badannya, tetapi aku takut
kalau dia berteriak dan akan membangunkan seluruh rumah. Setelah
kuperhatikan sejenak lalu kugeser tubuhku menjauh sehingga tangannya
yang berada di dadaku terjatuh di samping badannya dan kudengar Aminah
menarik nafas panjang seperti terjaga. Setelah kudiamkan sejenak, seolah
mengganti posisi tidur lalu kumiringkan tidurku menghadap ke arahnya
dan kujatuhkan tangan kiriku pelan-pelan tepat di atas buah dadanya.
Aminah tidak bereaksi jadi aku mempunyai kesimpulan kalau dia memang
telah tidur nyenyak sekali. Perasaanku semakin tidak menentu apalagi
tangan kiriku berada di badannya yang paling empuk, tetapi aku tidak
berani berbuat lebih jauh, takut Aminah jadi kaget dan berteriak. Aku
berpikir harus bagaimana agar Aminah tidak kaget, tetapi belum sempat
aku menemukan apa yang akan kulakukan, Aminah bergerak lagi mengganti
posisi tidurnya dan sekarang menghadap ke arahku dan tangan kanannya
dipelukkan di pinggangku. Dengan posisi ini, wajahnya sudah sangat dekat
dengan wajahku, sehingga nafasnya terasa menyembur ke arahku. Dengan
posisi wajahnya yang sudah sangat dekat ini, perasaanku sudah semakin
kacau dan penisku juga sudah semakin tegang, lalu tanpa kupikir panjang
kulekatkan bibirku pelan-pelan di bibirnya, tetapi tanpa kuduga Aminah
langsung memelukku erat sambil berbisik, "Paakk..", dan langsung saja
dengan sangat bernafsu mencium bibirku dan tentu saja kesempatan ini
tidak kusia- siakan. Sambil berciuman, kupergunakan tangan kiriku untuk
mengusap-usap dahi dan rambutnya. Aminah sangat aktif dan bernafsu serta
melepaskan ciuman di bibir dan mengalihkan ciumannya ke seluruh wajahku
dan ketika menciumi di dekat telingaku, dia membisikkan, Paak...,
sshh..., cepaatt..., Paakk..., toloong..., puasiinn..., am..,
Paakk..,sshh", setelah itu dia mengulum telingaku. Setelah aku ada
kesempatan mencium telinganya, aku segera mengatakan, "Aamm..., kita
pindahkan Dody di bawah..., yaa", dan Aminah langsung saja menjawab,
"Yaa..., paak", dan segera saja aku melepaskan diri dan bangun menyusun
batal di bawah dan kutidurkan dody di bawah. Selagi aku sibuk
memindahkan Dody, kulihat Aminah membuka pakaian dan BH-nya dan hanya
tinggal memakai CD berwarna merah muda dan kulihat buah dadanya yang
boleh dibilang kecil dan masih tegang, sehingga sulit dipercaya kalau
dia sudah pernah kawin dan mempunyai anak. Aku langsung saja melepaskan
semua pakaian termasuk CD-ku dan baru saja aku melepas CD- ku,langsung
saja aku diterkam oleh Aminah dan kembali kami berciuman sambil
kubimbing dia ke tempat tidur dan kutidurkan telentang. "Ayoo...,
Paak...", kembali Aminah berbisik di telingaku, "Am..., sudah..., tidak
tahaan..., paak". Aminah sepertinya sudah tidak sabar saja, ini
barangkali karena dia sudah lama cerai dan tidak ada laki-laki yang
menyentuhnya, tetapi permintaannya itu tidak aku turuti. Pelan-pelan
kualihkan ciumanku di bibirnya ke payudaranya dan ketika kusentuh
payudaranya dengan lidahku, terasa badannya menggelinjang dan terus saja
kuhisap-hisap puting susunya yang kecil, sehingga Aminah secara tidak
sadar mendesah, "Sshh..., aahh..., Paakk.., aduuh..., sshh",dan seluruh
badannya yang berada di bawahku bergerak secara liar. Sambil tetap
kijilati dan kuhisap payudaranya, kuturunkan CD-nya dan kupermainkan
vaginanya yang sudah basah sekali dan desahannya kembali terdengar,
"sshh..., aahh..., ayoo..., paak.., aduuh.., paak", seperti menyuruhku
untuk segera memasukkan penisku ke vaginanya. Aku tidak segera memenuhi
permintaannya, karena aku lebih tertarik untuk menghisap vaginanya yang
kembung menonjol dan tidak berbulu sama sekali. Segera saja kulepaskan
hisapanku di payudaranya dan aku pindahkan badanku diantara kedua
kakinya yang telah kulebarkan dahulu dan ketika lidahku kujilatkan di
sepanjang belahan bibir vaginanya yang basah dan terasa agak asin,
Aminah tergelinjang dengan keras dan mengangkat-angkat pantatnya dan
kedua tangannya mencengkeram keras di kasur sambil mendesah agak keras,
"aahh..., Paakk..., adduuhh.., paak. Aku teruskan jilatan dan hisapan di
seluruh vagina Aminah sambil kedua bibir vaginanya kupegangi dan
kupermainkan, sehingga gerakan badan Aminah semakin menggila dan
tangannya sekarang sudah tidak meremas kasur lagi melainkan meremas
rambut di kepalaku dan menekan ke vaginanya dan tidak lama kemudian
terdengar Aminah mengucap, "Aaduuhh..., adduuh..., Paak..., aahh...,
aduuh.., aahh.., paak", dan badannya menggelepar-gelepar tidak karuan,
lalu terdiam dengan nafas terengah-engah, tetapi dengan masih tetap
meremasi rambutku. Aku hentikan jilatanku di vaginanya dan merayap
keatas lalu kucium dahinya, sedangkan Aminah dengan nafasnya yang masih
terengah-engah menciumi seluruh wajahku sambil memanggilku, "Paakk...,
paak", entah untuk apa. Ketika nafas Aminah sudah mulai agak teratur,
lalu kutanya, "aam.., boleh kumasukkan sekarang.., aam..", Aminah tidak
segera menjawab hanya terus menciumi wajahku, tetapi tak lama kemudian
terdengar suara pelan di telingaku, "Paak..., pelaan..., pelaan...,
yaa..., Paak", dan dengan tidak sabar lalu kupegang batang penisku dan
kugesek gesekan pada belahan vaginanya dengan sedikit kutekan dan ketika
kuanggap pas di lubang vaginanya, segera kutekan pelan-pelan dan Aminah
sedikit mengeluh, "Paak..., sakiit..., paak". Mendengar keluhannya ini,
segera kuhentikan tusukan penisku ke vaginanya. Sambil kucium dahinya,
kembali ketekan penisku pelan-pelan dan terasa kepala penisku masuk
sedikit demi sedikit ke lubang vaginanya dan lagi-lagi terpaksa gerakan
penisku kuhentikan, ketika Aminah mengeluh, "Adduuh..., paak..". Setelah
kudiamkan sebentar dan Aminah tidak mengeluh lagi, kuangkat penisku
keluar dari vaginanya dan kembali kutusukkan pelan-pelan, ketika penisku
terasa masuk, kulihat wajah Aminah hanya mengerenyit sedikit tetapi
tidak ada keluhan, sehingga kembali kutusukkan penisku lebih dalam dan,
"Bleess..", masuk disertai dengan teriakan Aminah, "Aduuh..., paak", dan
tangannya mencengkeram pantatku, terpaksa penisku yang sudah masuk
sebagian kutahan dan kudiamkan di tempatnyaTidak lama kemudian, terasa
tangan Aminah menekan pantatku pelan-pelan dan kembali kutekan penisku
sehingga sekarang sudah masuk semua dengan tanpa ada keluhan dari
Aminah."Aam..., masih sakiitt..?", Tanyaku dan Aminah hanya
menggelengkan kepalanya pelan.Karena Aminah sudah tidak merasakan
kesakitan lagi, segera saja aku mulai menggerakkan penisku pelan- pelan
keluar masuk vaginanya, sedangkan Aminah hanya mengelus-eluskan
tangannya di punggungku.Makin lama gerakan penisku kupercepat dan Aminah
mulai ikut menggerakkan pinggulnya sambil bersuara,"aahh..., sshh...,
aahh..., aahh..., sshh..., teruus..., Paak". Aku tidak menuruti
permintaannya dan segera kuhentikan gerakan penisku dan kucabut keluar
dari vaginanya dan Aminah kelihatannya memprotes kelakuanku,"Paa k...,
kenapaa..". Aku tidak menjawab protesnya tetapi kubilang,"aam..., coba
sekarang Aminah berbalik dan nungging".Aminah menuruti permintaanku
tanpa protes dan setelah kuatur kakinya, secara pelan-pelan kutusukkan
penisku ke dalam vaginanya dari belakang dan kutekan agak kuat sehingga
membuat Aminah berteriak kecil,"aahh..", dan segera kugerakkan penisku
keluar masuk vaginanya dan Aminah bersuara,"aahh. .., oohh..., aah...,
ooh..., aahh", seirama dengan kocokan penisku keluar masuk. Tidak lama
kemudian kudengar keluhan Aminah,"Paak..., aam..., capeek..., paak",
sambil terus menjatuhkan badannya tengkurap, sehingga penisku jadi lepas
dari vaginanya.Langsung badan Aminah kubalik telentang dan kembali
kutancapkan penisku dengan mudah ke dalam vaginanya yang masih tetap
basah dan kuayun keluar masuk, sehingga membuat Aminah merasa keenakan
dan mendesah,"aahh..., oohh..., sshh..., aahh..., ssh", demikian juga
aku.Setelah beberapa saat, lalu kuhentikan gerakan senjataku dan kubalik
badanku sehingga posisi Aminah sekarang berada di atas."aam...,
sekarang Aminah yang maiin..., yaa..., biar aku juga enaak",
kataku.Mula-mula Aminah hanya diam saja, mungkin malu tetapi lama-lama
mulai mau menggerakkan pinggulnya ke atas dan ke bawah sehingga
vaginanya menelan penisku sampai habis dan gerakannya semakin lama
semakin cepat yang membuatku semakin keenakan,"aahh..., sshh..., aamm..,
truus..., aam..., enaak.., aam", dan Aminah hanya mendesah,"aahh...,
oohh..., aahh..". Karena gerakan Aminah semakin cepat, membuatku semakin
mendekati klimaks dan segera saja kukatakan,"Aam..., sshh..., ayoo...,
aam..., sayaa..., sudah mau keluaar.., cepaat.., aam"."Paak..., ayoo..,
kita.., sama samaa", katanya sambil mempercepat gerakan pinggulnya ke
atas dan ke bawah dan akhirnya aku sudah nggak kuat menahan air maniku
supaya tidak keluar dan,"Aam..., sekaraang", kataku cepat sambil kutekan
pinggulnya kuat-kuat dan Aminah hanya berteriak,"aahh", dan terus
sama-sama terdiam dengan nafas terengah-engah. Kami berdua lalu tidur
dengan penisku tetap masih berada di dalam vaginanya.Pagi harinya,
ketika aku makan pagi ditemani oleh bu Tus sendiri dan Pak Tus katanya
sedang ke kebun dan Aminah sedang menyuapi anaknya di depan, bu Tus
bertanya, "Paak..., apa benar..., suami saya..., akan di PHK?".Aku jadi
sangat terkejut dengan pertanyaan itu, karena setahuku belum ada orang
lain yang kuberitahu, kecuali pimpinanku dan sekretaris yang kusuruh
menyiapkan surat-surat."Buu..., lebih baik kita bicarakan dengan Bapak
sekalian agar bisa tuntas. Ayoo..., kita temui Bapak di kebun
ajakku.Karena Pak Tus sudah tahu dan mungkin dari sekretaris kantor,
lalu aku terangkan semuanya dan apa yang menjadi pertimbanganku dan yang
lebih penting soal pesangonnya yang spesial dan cukup besar.Pada
mulanya, di wajah Pak Tus kulihat ada perasaan kurang senang, tetapi
setelah kuberikan penjelasan dan kuberitahu besar uang pesangonnya, Pak
Tus dengan wajah berseri malah berbalik bertanya,"Paak..., kapan uang
pesangonnya bisa diambil..., saya mau gunakan untuk kebun saya ini dan
ditabung".Aku jadi lega bisa menyelesaikan masalah ini dan sekaligus
dapat vaginanya bu Tus dan Aminah.Siangnya kami kembali ke Indramayu dan
sesampainya di rumah mereka, Pak Tus mengatakan,"Paak..., jangan
kapok..., ya paak", dan kujawab,"Paak..., pokoknya kalau Pak Tus ajak
lagi..., saya akan ikut", sambil aku melihat bu Tus yang tersenyum penuh
arti.Pada hari Senin pagi kupanggil Sri sekretaris kantor yang pernah
kusuruh mempersiapkan surat berhenti untuk pegawai-pegawai yang telah
kupilih.Setelah Sri menghadap di kantorku, kumarahi dan kudamprat dia
habis-habisan karena tidak bisa menjaga rahasia.Kuperhatikan wajah Sri
yang ketakutan sambil menangis, tetapi apa peduliku dan saking kesalku,
kusuruh dia untuk pulang dan memikirkan apa yang telah dilakukannya.Aku
lalu meneruskan pekerjaanku tanpa memikirkan hal tadi.Malam harinya,
dengan hanya mengenakan kaos singlet dan sarung, aku duduk di ruang tamu
sambil melihat acara sinetron di salah satu stasion TV, tiba-tiba
kudengar ada orang mengetuk pintu rumahku yang sudah kukunci.Aneh juga,
selama ini belum ada tamu yang datang ke rumahku malam-mala, aku jadi
sedikit curiga siapa tahu ada orang yang kurang baik, maklum saja di
masa krisis seperti sekarang ini, tetapi ketika kuintip ternyata yang di
depan adalah Sri.Hatiku yang tadinya sudah melupakan kejadian tadi
siang, mendadak jadi dongkol kembali dan sambil kubukakan pintu, kutanya
dia dengan nada dongkol,"Ngapain malam-malam ke sini". Sri tidak
menjawab tapi malah bertanya,"Paak..., boleh saya masuk?"Yaa..., sana
duduk", kataku dengan dongkol, sambil menutup pintu rumah.Sri segera
duduk di sofa panjang dan terus menangis tanpa mengeluarkan kata-kata
apapun.Aku diamkan saja dia menangis dan aku segera duduk di sampingnya
tanpa peduli.Lama juga aku menunggu dia menangis dan ketika tangisnya
agak mereda, dengan tanpa melihat ke arahku dan diantara suara senggukan
tangisnya, Sri akhirnya berkata dengan nada penuh iba,"Paak..., maafkan
Srii..., paak, saya mengaku salah..., paak dan tidak akan mengulangi
lagi", dan terus menangis lagi, mungkin karena tidak ada jawaban
dariku.Lama sekali si Sri menangis sambil menutup mukanya dengan sapu
tangan yang sudah terlihat basah oleh air matanya, lama- lama aku
menjadi tidak tega mendengar tangisannya yang belum juga mereda, lalu
kugeser dudukku mendekati Sri dan kuraih kepalanya dengan tangan kiriku
dan kusandarkan di bahuku.Ketika kuusap-usap kepalanya sambil
kukatakan,"Srii..., sudaah..., jangan menangis lagi..., Srii", Sri
bukannya berhenti menangis, tetapi tangisnya semakin keras dan memeluk
pinggangku serta menjatuhkan kepalanya tepat di antara kedua
pahaku.Dengan keadaan seperti ini dan apalagi kepala Sri tepat ada di
dekat penisku yang tertutup dengan sarung, tentu saja membuat penisku
pelan-pelan menjadi berdiri dan sambil kuusap punggungnya dengan tangan
kiriku dan kepalanya dengan tangan kananku lalu kukatakan,"Srii...,
sudah..., laah..., jangan menangis lagi".Setelah tangisnya mereda,
perlahan-lahan Sri menengadahkan kepalanya seraya berkata dengan
isaknya,"Paak..., maafkan..., srii..., yaa", sambil kucium keningnya
lalu kukatakan,"Srii..., sudah.., laah..., saya maafkan..., dan
mudah-mudahan tidak akan terulang lagi". Mendengar jawabanku itu, Sri
seperti kesenangan langsung memelukku dan menciumi wajahku berulangkali
serta mengatakan dengan riang walaupun dengan matanya yang masih
basah,"Terima kasiih..., paak..., terima kasiih", lalu memelukku
erat-erat sampai aku sulit bernafas."Sudah.., laah..., Sri", kataku
sambil mencoba melepaskan pelukannya dan kulanjutkan kata-kataku."Gara-
gara kamu nangis tadi..., aku jadi susah..."."Ada apa paak", tanyanya
sambil memandangku dengan wajah yang penuh kekuatiran. Sambil kurangkul
lalu kukatakan pelan di dekat telinganya,"Sri i..., itu lhoo...,
gara-gara kamu nangis di pangkuanku tadi..., adikku yang tadi tidur...,
sekarang jadi bangun", kataku memancing dan mendengar jawabanku itu, Sri
mencubit pinggangku dan berguman,"iihh..., bapaak", dan sambil mencium
pipiku kudengar Sri agak berbisik di dekat telingaku, "Paak..., Sri...,
suruh..., tiduur..., yaa?", seraya tangannya menyingkap sarungku ke atas
dan menurunkan CD-ku sedikit sehingga penisku yang sudah tegang dari
tadi tersembul keluar dan dengan dorongan tanganku sedikit, kepala Sri
menunduk mendekati penisku serta,"Huup..", penisku hilang setengahnya
tertelan oleh mulutnya. Sri segera menggerakkan kelapanya naik turun
serta terasa lidahnya dipermainkan di kepala penisku sehingga membuatku
seperti terbang di awang-awang,"Ss hh..., aahh..., oohh.., Srii...,
sshh..., aahh", desahku keenakan tanpa sadar."Srii..., lepas
sebentaar..., Srii..., saya mau lepas sarung dan CD-ku dulu..", kataku
sambil sedikit menarik kepalanya dan setelah keduanya terlepas, kembali
Sri melahap penisku sambil tangannya sekarang mempermainkan buahku dan
aku gunakan tanganku untuk meremas-remas payudara Sri dan sekaligus
mencari serta membuka kancing bajunya. Setelah baju atas Sri berhasil
kulepas dari tubuhnya, maka sambil kuciumi punggungnya yang bersih dan
mulus, aku juga melepas kaitan BH-nya dan kulepas juga dari tubuhnya.
Sementara Sri masih menggerakkan kepalanya naik turun, aku segera
meremas-remas payudaranya serta kucium dan kujilati punggungnya,
sehingga badan Sri bergerak-gerak entah menahan geli atau keenakan,
tetapi dari mulutnya yang masih tersumpal oleh penisku terdengar
suara,"Hhmm..., hhmm..., hhmm".Dalam posisi seperti ini, aku tidak bisa
berbuat banyak untuk membuat nikmat Sri, segera saja kukatakan,"
Srii..., sudah duluu...", sambil menarik kepalanya dan Sri lalu kupeluk
serta berciuman, sedang nafasnya Sri sudah menjadi lebih cepat."Srii...,
kita pindah ke kamar..., yaa", kataku sambil mengangkat Sri berdiri
tanpa menunggu persetujuannya dan Sri mengikuti saja tarikanku dan
sambil kurangkul kuajak dia menuju kamarku lalu langsung saja kutidurkan
telentang di tempat tidurku.Segera kulepas singletku sehingga aku sudah
telanjang bulat dan kunaiki badannya serta langsung kucium dan kujilati
payudaranya yang terasa sudah lembek.Tapi..., ah.., cuek saja.Sambil
terus kujilati kedua payudara Sri bergantian yang makin lama sepertinya
membuat Sri semakin naik nafsunya, aku juga sedang berusaha melepas
kaitan dan ritsluiting yang ada di rok nya Sri.Sementara aku menarik
roknya turun lalu menarik turun CD-nya juga, Sri sepertinya sudah tidak
sabar lagi dan terus mendesah,"Paak..., paak..., ayoo..., paak...,
cepaat..., paak..., masukiin..., sshh", dan setelah aku berhasil melepas
CD dari tubuhnya, segera saja Sri melebarkan kakinya serta berusaha
menarik tubuhku ke atas seraya masih tetap berguman,"Paak..., ayoo...,
cepaat.., Srii..., aah..., sudah nggak tahaan..., paak". Aku turuti
tarikannya dan Sri seperti sudah tidak sabar lagi, segera bibirku
dilumatnya dan tangan kirinya berhasil memegang penisku dan dibimbingnya
ke aah vaginanya."Srii ..., aku masukin sekarang..., yaa", tanyaku
minta izin dan Sri cepat menjawab, "Paak..., cepaat..., paak", dan
segera saja kutekan penisku serta,"Blees..", disertai teriakan ringan
Sri,"aahh..", masuk sudah penisku dengan mudah ke dalam vaginanya
Sri.Sri yang sepertinya sudah tidak bisa menahan dirinya lagi, mendekap
diriku kuat-kuat dan menggerakkan pinggulnya dengan cepat dan kuimbangi
dengan menggerakkan penisku keluar masuk vaginanya disertai
bunyi"Ccrreet..., creet.., crreet", dari vaginanya mungkin sudah sangat
basah dan dari mulutnya terdengar,"oohh..., aahh..., sshh..., paak...,
aah".Gerakan penisku kupercepat sehingga tak lama kemudian gerakan badan
Sri semakin liar saja dan berteriak,"Adduuh..., paak..., aahh...,
oohh..., aduuhh..., paak..., aduuhh..., paak", sambil mempererat
dekapannya di tubuhku dan merangkulkan kedua kakinya kuat-kuat di
punggungku sehingga aku kesulitan untuk bergerak dan tak lama kemudian
terkapar dan melepas pelukannya dan rangkuman kakinya dengan nafasnya
yang memburu.Aku agak sedikit kecewa dengan sudahnya Sri, padahal aku
juga sebetulnya sudah mendekati puncak, hal ini membuat nafsuku sedikit
surut dan kuhentikan gerakan penisku keluar masuk."Srii..., kenapa
nggaak bilang- bilang..., kalau mau keluar", tanyaku sedikit kecewa.
"Paakk.., jawab Sri dengan masih terengah engah,"Sri..., sudah nggak...,
tahaan..., paak.." Agar Sri tidak mengetahui kekecewaanku dan untuk
menaikkan kembali nafsuku, aku ciumi seluruh wajahnya, sedangkan penisku
tetap kudiamkan di dalam vaginanya. eeh, tidak terlalu lama terasa
penisku seperti terhisap dan tersedot- sedot di dalam
vaginanya."Srii..., teruus..., Srii..., enaak..., teruuss..., Srii", dan
membuatku secara tidak sadar mulai menggerakkan penisku kembali keluar
masuk, dan Sri pun mulai menggerakkan pinggulnya kembali.Aku semakin
cepat mengerakkan penisku keluar masuk sehingga kembali terdengar
bunyi,"Ccrroot..., crreet..., ccrroot..., creet", dari arah
vaginanya."Srii..., Srii..., ayoo..., cepaat..., Srii", dan seruanku
ditanggapi oleh Sri."Paak..., iyaa..., paak..., ayoo", sambil
mempercepat gerakan pinggulnya."aah h..., sshh..., Ssrrii..., ayoo...,
Srrii.., saya.., sudah dekaat srii." "Ayoo..., paak..., cepaatt...,
sshh..., paak" Aku sudah tidak bisa menahan lagi dan sambil mempercepat
gerakanku, aku berteriak"Srrii..., ayoo..., Srrii..., sekaraang", sambil
kutusukan penisku kuat-kuat ke dalam vaginanya Sri dan ditanggapi oleh
Sri."Paak..., ayoo..., aduuh..., aah..., paak", sambil kembali
melingkarkan kedua kakinya di punggungku kuat-kuat.Setelah beristirahat
cukup lama sambil tetap berpelukan dan penisku tetap di dalam vaginanya,
segera aku ajak Sri untuk mandi, lalu kuantar dia pulang dengan
kendaraanku.Minggu depannya, aku berhasil melaksanakan PHK tanpa ada
masalah, tetapi beberapa hari kemudian setelah pegawai-pegawai yang
tersisa mengetahui besarnya uang pesangon yang diberikan kepada 5 orang
ter-PHK, mereka mendatangiku untuk minta di- PHK juga. Tentu saja
permintaan ini tidak dapat dipenuhi oleh pimpinanku.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar